Rabu, 02 Maret 2011

Pesan di Jendela

Aku capek dengan sikap anak-anak yang seperti ini. Setiap kali latihan selalu saja bikin ulah, tidak mau serius dan malah main-main sesuka mereka.
“Hei,” seruku saat mereka asyik tertawa, “kalian sebenernya ke sini mau mainan apa latihan?” dengusku sebal, melipat tangan di dada.
Semuanya langsung diam, menatapku dengan tatapan takut-takut seakan aku siap menerkam kalau mereka tidak begitu.
“Aah, jangan mulai lagi deh, Al!” tegur Khelvin dari balik drumnya. “Jangan marah-marah melulu!” ia melanjutkan.
Anak-anak lain diam, tidak berani menimpali, tapi dari tatapan mereka aku tahu jelas kalau mereka setuju dengan kalimat Khelvin barusan.
Aku mendengus kesal lagi, berbalik hendak meninggalkan studio yang dipenuhi atmosfer ketidak-seriusan itu. Menyebalkan. Bagaimana mungkin sih, mereka sama sekali tidak menganggap lomba ini sebagai sesuatu yang serius? Sedangkan untukku, lomba ini sama pentingnya dengan ujian Cambridge yang baru-baru ini aku ikuti.
Aku membanting pintu di belakangku dengan kesal, mereka semua tidak pernah berubah sejak aku meninggalkan band ini setahun lalu. Well, menurut mereka aku terlalu emosional sebagai vokalis, haha… mungkin mereka sebal karena aku bukan siapa-siapa dan tiba-tiba datang untuk mengatur ini dan itu. Tapi mereka salah besar kalau maksudku adalah mengatur mereka. Aku hanya ingin mengikuti lomba ini. Sekali seumur hidup dan serius. Apa itu salah?
Beberapa saat kemudian, Khelvin menyusulku keluar. “Kamu kenapa sih? Marah-marah terus. ‘Kan aku udah bilang kalau anak-anak bandku suka bercanda, masa kamu nggak ngerti sih?” Ia bertanya panjang lebar.
Aku diam saja.
“Al,” panggilnya.
“Udah, masuk lagi sana! Aku mau pulang aja!” seruku sambil mendorong tubuh Khelvin jauh-jauh. Aku bangkit dan segera meninggalkan studio band itu, daripada pikiranku makin sumpek.

@ @ @

Aku tahu beberapa alasan yang mungkin membuatku tidak pernah diterima dalam band ini. Pertama, karena dulu aku keluar gara-gara pernah memukul salah satu personel mereka (waktu itu aku marah besar). Kedua, aku keluar gara-gara aku pernah menyukai Khelvin. Sebenarnya aku tahu siapa yang Khelvin suka sejak SMP, tapi entah kenapa, aku nekat sekali dan mengorbankan banyak hal untuk menyukai sahabatku yang satu ini.
Khelvin sangat menyukai satu orang, namanya Fara. Dia cantik, pintar, brilian baik di bidang akademik maupun non-akademik, dan Fara bukan seseorang yang pemarah. Haha… beda jauh ‘kan denganku? Lantas kenapa aku percaya diri sekali ya, untuk menyukainya?
Sepertinya sejak dulu, Khelvin lebih mengharapkan Fara yang ada dalam bandnya, oh, melihat Fara setiap hari saat latihan pasti membuat Khelvin senang. Tapi kenapa setiap kali aku minta tolong dia selalu membantu dan bukan malah mengajak Fara saja? Mana kutahu.

@ @ @

Rasanya walau sampai air mataku kering dan suaraku habis untuk memohon-mohon, band ini tidak akan seperti yang aku harapkan. Uuh, menyebalkan sekali setiap kali melihat mereka bercanda tanpa menghiraukan perasaanku yang kelewat bersemangat ikut lomba ini. Masa aku harus mundur? Apa yang bakal kukatakan pada Kak Indah yang sudah menulis nama band kami sebagai peserta? Apa yang bakal kukatakan pada semua orang?
Lantas aku harus bagaimana menghadapi situasi seperti ini. Mau marah salah, mau diam malah salah. Aduh, aduh, malah repot sendiri. Sejujurnya kenapa aku ingin sekali mengikuti lomba ini adalah, aku iri pada adikku. Sejak SD dia sudah aktif ikut band dan selalu memenangkan lomba. Pialanya berderet-deret di ruang keluarga, semuanya hasil dari keseriusan dan ketekunan saat latihan. Nah, aku hanya ingin band ini seperti itu sekali saja.
Aku tidak berharap yang muluk sih, aku tahu usaha pertama biasanya gagal. Tapi aku hanya ingin minimal tampil bagus, tapi dengan mood anak-anak yang seperti ini, aku tidak yakin kita bisa tampil bagus apalagi sempurna.
Pikiranku melayang-layang terus sepanjang perjalanan. Memikirkan waktu lomba yang tinggal tiga hari lagi dan kami belum mencapai apapun semenjak seminggu lalu. Pikiranku penuh sesak dan kepalaku serasa mau meledak kalau aku memikirkan ulang semua ini. Sekali lagi. Apa aku harus menyerah?
Sebuah cahaya terang menyilaukan mataku. Aku rasa aku buta sesaat. Namun tiba-tiba, aku sudah berada di rumah.
Aneh.
Padahal aku merasa belum memarkir sepeda motor di garasi, kenapa tiba-tiba aku ada di kamarku?
Sayup-sayup kudengar lantunan surat Yaasin di ruang tamu. Hah? Siapa yang meninggal? Apa salah satu anggota keluargaku ada yang meninggal? Pikirku khawatir.
Aku ingin tahu untuk siapa surat Yaasin itu dibacakan, namun aku takut keluar dan mendapati salah satu tubuh orang yang kusayangi terbujur kaku terbalut kain kafan, jadi aku hanya menempelkan telinga ke pintu.
Terdengar suara isak pelan mama di antara lantunan Yaasin. Terdengar suara gemetar papa membacakan surat Yaasin. Terdengar senggukan adikku di sela-sela kalimatnya yang tidak jelas. Ternyata keluargaku tidak ada yang meninggal. Alhamdulillah.
Lalu siapa yang meninggal?
Aku memberanikan diri untuk membuka pintu. Tidak ada yang menoleh saat aku melangkah keluar, membungkuk sedikit saat melewati beberapa orang tua. Saat tiba di ruang tamu, kakiku tersandung sesuatu dan aku jatuh terjembab. Aku memejamkan mata rapat-rapat untuk menahan sakit, namun aku menyentuh lantai dengan sangat pelan. Tidak terasa apapun.
Saat aku bangun, jantungku serasa berhenti berdetak.
Di sana…
Tubuh arwah orang yang dikirimi Yaasin terbujur kaku di sana.
Wajahnya pucat dan dingin. Diam. Terbalut kain kafan.
Wajahnya tanpa ekspresi.
Wajahku.

Aku memandang sekelilingku dengan tatapan bingung, tidak ada yang memerhatikan aku di sana.
“Hei!” teriakku sekencang-kencangnya, “Aku di sini! Aku masih di sini!” aku berteriak keras sekali sampai tenggorokanku sakit.
Tapi suaraku hanya bergaung kembali ke telingaku. Tidak ada yang mendengarku. Aku sudah mati. Aku sudah mati sebelum aku menyadarinya.
Tiba-tiba aku sadar akan kehadiran empat orang teman bandku yang baru saja aku tinggalkan di studio tadi. Mereka tertunduk dengan ekspresi yang sulit ditebak. Mereka juga mengira aku sudah mati.
Usai pembacaan surat Yaasin, orang-orang mulai berlalu dan mengusung jenazahku untuk dibawa ke makam umum. Semua keluargaku ikut, bahkan teman-teman satu bandku ikut. Dengan langkah lesu, aku mengikuti iring-iringan itu. Fakta bahwa aku telah mati membuat semua perasaanku lenyap. Aku merasa hampa.
Setelah jenazahku dikubur, semua orang pulang. Aneh. Kematianku begitu mudah dan aku tidak merasakan sakit apapun. Apakah aku sudah mati?
“…Aldebaran menuliskan sesuatu untuk kalian di jendela kamarnya,” terdengar suara parau mama. “Ya, saya yakin sekali pesan itu untuk kalian.”
Keempat temanku mengikuti mama dan papa pulang ke rumah. Pesan? Pesan apa? Perasaan aku tidak pernah menulis pesan apapun. Apalagi pesan di jendela.
Sesampainya di kamarku, mama mendekatkan bibirnya pada kaca jendela dan meniupnya pelan. Benar saja, ada sebuah tulisan di balik debu yang menggumpal di lapisan kaca.

Aku menyerah saja deh, kayaknya aku nggak bakal pernah berhasil ikut lomba ini-itu,
Makasih atas hiburan kalian ya!

Saat itulah aku baru ingat semuanya.
Cahaya menyilaukan itu adalah kematian yang menjemputku saat aku dalam perjalanan pulang. Aku tewas di jalan. Aku tewas bahkan sebelum aku mengikuti lomba ini.
Tiba-tiba udara di sekitarku membeku.
Sekali lagi aku melihat cahaya disusul sakit yang luar biasa. Aku mati.