Jumat, 08 Januari 2010

Cerpen - Old Friend 3

Old Friend 3...

(With Pieces by L’Arc~en~Ciel)

Kanon menatap anak laki-laki dengan balutan bogú di hadapannya dengan pandangan tidak percaya.

“Kau? Lawanku?” katanya tidak percaya. “Yakin?” tanya Kanon dengan nada penuh ejekan seraya mengangkat shinai-nya dan bersiap untuk menyerang.

Aoi tersenyum tenang, meski dalam hatinya terdapat setitik keraguan dan rasa takut akan sisi lain Kanon yang sebentar lagi muncul di hadapannya. Para penonton terpaku di tempat, mereka hanya bisa ternganga seraya terus memandang pada dua orang kendoka yang mungkin akan segera menghancurkan seisi ruang makan itu begitu mereka bertarung.

“Apa yang sebenarnya kau cari, Kanon?” tanya Aoi memecah kesunyian dalam ruang makan yang penuh dengan banyak orang itu.

Kanon tersentak kecil, shinai dalam tangannya melonggar. Gadis dengan balutan kimono ungu itu menatap sahabat kecilnya lekat-lekat.

“Aku? Aku tidak pernah mencari apapun selain kebenaran,” kata Kanon dengan tatapan mata yang keras. “Dan apa kebenaran itu, bukan urusanmu!” lanjutnya dengan nada sekeras tatapannya.

Aoi balas menatap Kanon dengan pandangan dalam. Sejak kecil keduanya telah bersahabat sangat akrab, Aoi tidak ingin persahabatan yang ia jalin susah payah harus berakhir seperti ini.

“Kalau begitu kalahkan aku! Jika kau dapat mengalahkanku, maka aku tidak akan mencampuri urusanmu lagi.” Kata Aoi tenang namun dengan tekanan ketegasan dalam suaranya.

Bibir Kanon membentuk sebuah seringai penghinaan yang teramat sangat, ia kembali menghunus shinai dalam genggamannya.

“Baiklah, Izumi, lawan aku! Berani bertaruh kau tidak akan bertahan sampai pukulan ketiga,” kata Kanon dengan nada mantap, ia mulai memasang kuda-kuda.

Aoi mencabut shinai-nya, ia menghunusnya dengan penuh keyakinan. Dilepasnya men yang melindungi kepala serta wajahnya.

“Aoi, apa yang kau lakukan?!” teriak Oto saat melihat Aoi melepas men-nya. “Kau mau mati, ya? Kanon bisa saja mengeluarkan Tsuki Senbon-nya!”

Lagi-lagi anak laki-laki itu tersenyum, “Tidak apa-apa, Oto. Aku ingin lihat dia ‘membunuh’ sahabatnya, sama seperti dia ‘membunuh’ ayahnya dulu.”

Jawaban yang dilontarkan Aoi itu sontak membuat ekspresi wajah Kanon berubah. Kedua matanya memerah dan dipenuhi air mata, shinai kembali melonggar dalam genggamannya, ia menunduk sangat dalam. Kesempatan itu dipergunakan Aoi untuk menyerang Kanon, anak itu maju dan menghantamkan shinai pada Kanon. Tak disangka, Kanon menangkis serangan Aoi dengan sangat mudah, ia menyilangkan shinai di depan untuk melindungi diri dari serangan lawan. Kanon membalas serangan Aoi, namun luput, serangannya yang tidak efisien itu meleset dan mengenai pintu ruang makan sehingga pintu itu retak parah. Aoi menangkap wajah Kanon yang basah oleh air mata di sela-sela pertarungan, namun Kanon selalu berusaha menyembunyikannya dengan mempercepat gerakan shinai dan tubuhnya sendiri.

“Kau bilang akan mengalahkanku di pukulan ketiga?” kata Aoi seperti menagih sebuah janji.

Kanon semakin putus asa, terlihat jelas dari gerakannya yang semrawut dan tidak tepat sasaran, hal ini segera merubah asumsi para penonton bahwa Kanon-lah yang akan menang.

Suara gemeretak keras terdengar saat tubuh kecil Kanon menghantam tembok, shinai terlepas dari tangannya dan tergeletak lemas di sampingnya. Aoi mati-matian menahan diri agar tidak menolong atau menunjukkan rasa khawatir pada Kanon, sebaliknya, ia berusaha bersikap angkuh dan tak acuh.

“Kau lihat? Apa yang bisa kau lakukan, Kanon Mori? Dengan keadaanmu yang menyedihkan seperti itu, dapatkah kau mencari kebenaran itu sendirian?” cecar Aoi seraya berjalan mendekati tubuh Kanon yang diam bersandar di tembok dengan kepala menunduk dalam.

“Sudah jelas ‘kan siapa pemenangnya? Mulai sekarang...”

“Mulai sekarang kaulah yang harus pergi selamanya dari kehidupanku!” potong Kanon dengan nada rendah berbahaya.

Sebelum dapat mencerna maksud perkataan Kanon, Aoi sudah lebih dulu dihujani serangan dengan frekuensi kecepatan luar biasa. Leher, perut, lengan, semuanya terasa ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum, dan dalam waktu kurang dari beberapa detik, tubuhnya jatuh karena tidak kuat menahan serangan tersebut.

“Kau lihat? Kau yang menyedihkan, Aoi Izumi! Kau hanya pemain bola dan kendoka payah. Kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku, itu hanya ilusimu saja!” kata Kanon dengan nada dingin yang jauh lebih angkuh daripada Aoi tadi. Peluh membasahi wajah dan kimono ungu yang dikenakan Kanon, nafasnya terengah-engah karena melakukan jurus Tsuki Senbon dengan posisi awal yang kurang menguntungkan.

Aoi berusaha berdiri dengan kedua lutut dan lengan gemetar, seluruh tubuhnya lebam karena serangan yang diterimanya tadi.

“Kau... hatimu memang sudah beku, ya?” gumam Aoi nekat, ia terus saja memancing emosi Kanon padahal ia tahu itu akan berakibat buruk pada dirinya sendiri. Aoi merasa belum melihat apa yang ingin dilihatnya.

“Bukan urusanmu! Hatiku memang sudah beku dari dulu, kau saja yang terlalu bodoh untuk menyadarinya.” Jawab Kanon.

“Kalau begitu kalahkan aku! Buat aku tak mampu berdiri lagi atau kalau kau mau membunuku juga tidak apa-apa, lakukan apapun sesukamu!” tukas Aoi seperti tanpa beban walau seluruh syaraf di tubuhnya menjerit kesakitan.

Kanon lagi-lagi menatapnya angkuh, bibirnya menyunggingkan seringai mengerikan yang biasa ditunjukkannya setiap ia berlatih menghancurkan orang-orangan kayu dengan shinai.

“Time to kill!” bisik gadis itu dengan nada sadistisme, sama seperti pada saat ia membuka ruang makan untuk membalas Oto yang telah membawanya kembali ke Kawaii-dojo.

Kanon melenggang pelan ke arah Aoi, anak laki-laki itu hanya menatapnya lekat-lekat tanpa berusaha melakukan apapun untuk melawan.

“Jangan menyesal, Izumi,” Kanon berkata begitu seraya menghantamkan shinai pada Aoi.

Aoi tersenyum seraya memejamkan kedua matanya, ia sudah melihat apa yang ingin dilihatnya. ‘Sudah cukup... aku sudah tahu, kebenaran yang kau cari, Kanon...’

@ @ @

“Nee tooi hi ni koi o shita ano hito mo

Uraraka na kono kisetsu aisuru hito to ima

Kanjiteru kana?”

...

Aoi membuka kedua matanya, langit-langit di atasnya terlihat berbayang-bayang olehnya. Ia berusaha duduk namun urung karena begitu bergerak, seluruh tubuhnya langsung kesemutan dan rasanya sakit luar biasa.

“Hei, hati-hati, Aoi. Tubuhmu belum sepenuhnya sembuh, lho!” kata sebuah suara yang dikenalinya sebagai suara Oto Takase, Oto no Kendoka.

“Apa yang terjadi? Kukira aku sudah sampai di surga,” canda anak itu seraya tertawa kering.

Oto berjalan mendekatinya dan duduk di samping dipan yang sedang dibaringinya, ia membawa semangkuk makanan yang menguarkan aroma sedap menggoda selera.

“Makanlah, ini buatan Muroe san, dia kepala koki yang sangat andal memasak. Dia bilang: sup asparagus sangat baik untuk memulihkan orang yang babak belur sehabis bertarung,” jelas Oto lalu nyengir lebar.

Aoi tertawa mendengar penghinaan samar itu, ia duduk bersandar pada kepala dipan, tubuhnya sudah tidak seberapa sakit lagi sekarang.

“Bagaimana semalam?” tanya Aoi seraya menerima mangkuk sup itu dari Oto.

Ekspresi Oto berubah serius, seperti biasanya kalau hendak memulai cerita. “Kanon memukulmu di tengkuk dengan sangat keras sehingga beberapa ruas tulang punggungmu retak, tapi dokter sudah memeriksamu dan dia bilang kau tidak akan mati. Tuan Kawaii datang bersama Kawazoe sensei tepat setelah kau ambruk dihajar Kanon, kau tidak akan bisa bayangkan ekspresi mereka!” kata Oto.

Aoi terlihat makin penasaran, “Lalu Kanon, apa yang terjadi dengan Kanon?” tanya Aoi tidak sabar.

“Kawazoe sensei terlihat sangat muntab dan langsung menyeret Kanon ke ruang latihan, kami semua tidak tahu apa yang terjadi pada mereka berdua karena Kanon belum keluar sampai saat ini,” jawab Oto.

“Dan Tuan Kawaii?”

“Beliau hanya mengkhawatirkanmu sepanjang sisa tadi malam. Kau adalah tamu di sini, dan percayalah, Tuan Kawaii bahkan bersedia mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan tamu yang datang ke Kawaii-dojo,” jelas Oto bersungguh-sungguh.

Aoi terlihat sedikit heran pada cerita Oto barusan. Ia belum pernah sekalipun menemui orang bernama Tuan Kawaii itu, namun rasanya ia sangat bangga mengetahui bahwa di dunia ini masih ada orang seperti beliau; meski ia hanya mendengarnya dari cerita Oto.

“AH,” Aoi memekik tiba-tiba dan sangat keras, membuat Oto sampai terlonjak dari tempat duduknya.

“Ada apa, ada apa?” tanya Oto seperti orang linglung.

“Aku baru ingat ceritamu tentang Kanon dan orang bernama Kawazoe itu. Kau bilang: mereka belum keluar dari ruang latihan hingga saat ini, ‘kan?” kata Aoi sebagai jawaban.

Oto terlihat bingung sejenak lalu berekspresi serius kembali. “Kau benar. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada mereka berdua,” katanya seperti memahami apa yang sedang dipikirkan Aoi.

“Bagaimana caranya supaya kita bisa tahu apa yang telah terjadi?” tanya Aoi dengan raut wajah khawatir.

Oto tampak memeras otaknya, lalu ekspresi janggal yang tak pernah dilihat Aoi sebelumnya, muncul pada wajah Oto.

“Aku tahu caranya, Aoi!”

@ @ @

Pria itu menatap seorang gadis berbalut kimono ungu di bawahnya dengan penuh kebencian, tak sedikitpun belas kasih pernah diberikannya saat bersama dengan gadis itu.

“Jadi, Kanon Mori,” ia memulai berbicara lagi setelah berjam-jam menciptakan atmosfer keheningan dalam ruangan berlantai kayu yang cukup luas itu. “Kau tahu kalau perbuatanmu tadi malam itu benar-benar suatu kesalahan besar yang membuat Tuan Kawaii sangat khawatir, jadi sebaiknya hukuman apa yang pantas kuberikan untukmu?” ia berkata dengan nada dingin menusuk.

Gadis yang terduduk di lantai dengan kepala tertunduk itu diam tak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya pelan.

“Oh, jadi kau tidak tahu?” kata pria itu sinis. “Bagaimana kalau kulenyapkan saja kau dari hadapanku untuk selamanya?” lanjutnya tanpa perasaan sama sekali.

“T... terserah Anda saja,” jawab gadis yang ternyata adalah Kanon itu.

Pria itu menyeringai sangat kejam dan mengerikan, ditariknya sejumput rambut Kanon dengan keras dan memaksanya untuk melihat ke dalam kedua matanya yang sipit namun sangat tajam seperti elang.

“Terserah padaku? Bagaimana kalau kau kukirim ke neraka untuk menyusul ayahmu?” bentaknya sangat keras tepat di wajah Kanon yang basah oleh peluh dan air mata.

Kanon hanya menggeleng seraya terus menangis, hal itu membuat pria kejam di hadapannya makin muak padanya. Dicampakannya sejumput rambut Kanon dari genggamannya.

“Kau memuakkan! Sama persis seperti ayahmu yang pecundang itu. Dia...”

“JANGAN!!!” teriak Kanon sangat amat keras dan penuh amarah. “JANGAN PERNAH SEKALIPUN ANDA MENYEBUT AYAH SAYA PECUNDANG!” lanjutnya masih dengan suara keras yang penuh amarah.

Selama sepersekian detik, ia berhasil membuat pria itu terpana, sekaligus makin-makin-makin ingin untuk membunuhnya. Pria itu mengambil shinai yang tergeletak di lantai dan tanpa belas kasih maupun keraguan, diayunkannya shinai itu pada tubuh kecil Kanon. Kanon memejamkan mata sangat rapat untuk menahan rasa sakit yang mungkin akan dirasakannya sebentar lagi. Terdengar suara benda keras menghantam daging saat pria itu mengayunkan shinai, namun Kanon tidak merasakan apapun. Perlahan, ia membuka matanya dan menengadahkan kepala. Dan apa yang dilihatnya benar-benar membuatnya terkejut sekaligus takut setengah mati.

“A... Aoi?” gumamnya lirih dengan seluruh tubuh gemetar ketakutan.

Pria itu bermaksud mengayunkan shinai untuk menyerang Kanon dan malah mengenai orang lain yang ternyata adalah Aoi.

“J... j...jangan... sentuh! Jangan s... sentuh Ka... Kanon lagi m...mulai se...karang dan s...selamanya, Yos... Yoshida K... Kawazoe!” kata Aoi terbata. Bahunya sakit luar biasa setelah terkena pukulan pria itu.

Pria yang ternyata adalah Kawazoe itu menatap Aoi sedikit terkejut, ia mengenali anak itu sebagai alasan mengapa ia harus menghukum Kanon semalaman.

“Oh, rupanya tamu Tuan Kawaii,” ekspresinya dingin kembali. “Maaf sudah membuatmu cidera, tuan muda, tapi Anda sudah berani mengganggu latihanku dengan muridku. Jadi sebaiknya Anda menyingkir atau kubuat keadaan lebih parah lagi.” Tandas Kawazoe mantap.

Aoi tidak bergerak dari tempatnya, melainkan hanya memandang Kawazoe dengan tatapan menantang dan tak gentar.

“Jangan! Kumohon jangan sakiti Aoi!” jerit Kanon tiba-tiba. Ia memohon-mohon pada Kawazoe dengan air mata berlinangan di wajahnya.

Aoi menoleh padanya, dia tersenyum pada Kanon seraya mengedipkan sebelah matanya, “Aku akan menjagamu, ingat?”

Kanon terpana mendengar kata-kata Aoi, ia seperti kembali ke masa lalunya.

“Aoi, aku takut!” jerit Kanon saat melihat Aoi dan rerumputan hijau jauh di bawahnya. Kakinya berayun-ayun pada dahan pohon maple yang sedang dipanjatnya saat itu.

“Tidak apa-apa, Kanon! Lepaskan peganganmu lalu melompatlah!” teriak Aoi dari bawah pohon.

Kanon menggigit bibir dan menoleh ke bawah, ia lalu menggeleng pada Aoi. “Tidak mau!” jeritnya hampir menangis.

Aoi menjulurkan kedua tangannya, “Aku akan menjagamu, ingat?” ia mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum lembut.

Kanon mengangguk. Gadis kecil itu menarik nafas dalam-dalam, memejamkan mata, dan dengan satu tarikan nafas, ia melompat turun ke bawah.

Ia seperti melayang di udara, namun juga takut akan mati begitu menyentuh tanah di bawahnya.

“AOI!!!” jeritnya keras.

Kedua kakinya menyentuh tanah dengan lembut, tubuhnya terasa hangat. Ia tidak jatuh! Dibukanya kedua matanya yang sedari tadi terpejam karena takut, dan ia terkejut mendapati dirinya dalam pelukan Aoi.

“Sudah kubilang ‘kan? Aku akan menjagamu, ingat?”

Saat kembali ke masa ini, Kanon melihat Kawazoe yang menyeringai sangat kejam dan ia tahu bahwa Aoi dalam bahaya.

“Kau bermaksud menjadi pahlawan kesiangan-nya, ya?” kata Kawazoe sinis seraya mengedikkan kepala ke arah Kanon. “Baiklah, kukabulkan harapanmu.” Kawazoe berkata begitu seraya mengangkat shinainya tinggi-tinggi dan sekali lagi menghantamkannya pada Aoi yang hanya tersenyum tenang.

“TIDAK!!!” jerit Kanon memilukan.

@ @ @

“Aa ryoute ni afuresou na omoi de tachi karenai you ni

Yukkuri ashita o tazunete yuku kara

Watashi no kakera yo chikara tsuyoku habataite yuku

Furikaeranai de hiroi umi o koete...”

‘Aku banyak belajar dari rasa sakit dan kepedihan

Bahwa mereka adalah guru terbaik dalam hidup ini

Bahwa kita takkan pernah tegar tanpa mengenal mereka

Bahwa kita baru bisa disebut manusia,

jika telah merengkuh mereka di samping kita’

‘Dan selama rasa sakit dan derita itu membuat kita menangis

Itu disebut manusiawi

Bagian dari ‘potongan’ kehidupan yang lama berakhirnya

Yang sulit dimengerti oleh kebayakan manusia

Itulah yang disebut emosi’

‘Terkadang derita membuat kita merasa bahwa hidup itu tidak adil

Tetapi hidup selalu begitu

Seperti permainan sepak bola

Jika kita mendapat umpan namun tiada menyambutnya,

maka umpan itu akan diambil lawan’

‘Begitu pula hidup,

Saat kita diberi kesempatan untuk membahagiakan seseorang

atau kesempatan untuk menyatakan sesuatu pada seseorang

yang menurut kita sangat berharga...

bahagiakanlah dia... jagalah dia...

karena kesempatan belum tentu datang untuk kedua kalinya.

Katakan semua yang ada dalam hatimu, perasaanmu, segalanya...

agar dia mengerti, bahwa ada senyuman yang akan terbit,

setelah rasa sakit dan derita tenggelam dalam indahnya

kehangatan suatu ikatan...”

Lagi-lagi ia membuka mata dalam keadaan sekujur tubuh yang hampir hancur, dan rasanya sangat tidak nyaman.

“Dasar nekat! Sudah kubilang ‘kan?” kata Oto tiba-tiba, ia sedang duduk di samping Aoi saat itu.

Aoi mendapati dirinya di tempat yang sama seperti tadi pagi. Ia berusaha duduk namun Oto sudah mencegahnya terlebih dulu.

“Jangan berbuat nekat untuk kedua kalinya, Aoi! Kau sudah cukup hancur dengan serangan Kanon dan sekarang kau telah sukses menghancurkan bahumu dengan menantang Kawazoe sensei, tahu!” Oto terlihat jengkel.

Aoi nyengir lebar, “Maaf lho, sudah menyusahkanmu,” tukasnya sedikit malu.

Oto menghembuskan nafas kelelahan dan menyandarken diri pada tembok, lingkaran ungu tercetak di bawah kedua matanya.

“Kau sudah tidur?” Aoi bertanya prihatin.

Oto menoleh pada Aoi, lalu menggeleng lemah. “Tuan Kawaii memerintahkanku agar tidak tidur sampai kau bangun,” jawabnya letih.

Aoi mengerutkan dahinya, “Bodoh! Kau bisa kan menyuruh seseorang untuk menggantikanmu?” protes anak itu.

Oto menggeleng, “Kurasa tidak. Aku kendoka tertua di sini, jadi akulah penanggung jawab tamu di sini.” Jelasnya. “Dan kau sebaiknya diam, istirahat. Yasumi ne!” tegas Oto sebelum Aoi membuka mulut untuk membantah.

“Tapi kau harus tidur!” Aoi menolak untuk diam.

“Ja, wakarimashita! Ima, kimi ni nemasu shimashita!” kata Oto berusaha menenangkan Aoi.

Setelah argumen alot mengenai istirahat, Oto kelelahan dan jatuh tertidur di kursi. Sementara itu, Aoi yang tubuhnya belum pulih sepenuhnya, nekat berdiri dan berjingkat keluar dari kamar. Usai menutup pintu-dan sedapat mungkin tanpa suara-Aoi berjalan menyusuri koridor yang sama seraya memegangi bahunya, ia ingin menemui Kanon. Harus! Aoi berpapasan dengan seorang anak laki-laki kecil yang dikenalinya sebagai Jun Ichimaru di depan ruang latihan.

“Izumi ya?” ia menyapa Aoi. “Bukankah kau seharusnya beristirahat di klinik?” Ichimaru bertanya keheranan.

Aoi menyilangkan telunjuk di bibirnya, “Ssst... jangan bicara terlalu keras! Nanti semua orang dengar!” tegurnya.

Ichimaru spontan menekap mulutnya, “Gomenasai...” bisiknya lirih.

“Dengar Ichimaru, bisakah kau beritahu aku di mana Kanon berada?” tanya Aoi dengan suara pelan.

“Mori maksudmu?”

Aoi mengangguk, “Hai!”

“Dia ada di kamarnya seharian. Kata Muroe sama, yang mengantarkan makan untuknya, Mori menangis seharian di sana.” Jelas Ichimaru panjang lebar.

“Baiklah, doomo Ichimaru,” kata Aoi buru-buru sebagai jawaban. Aoi hendak pergi sebelum ia ingat sesuatu, “Di mana kamar Kanon?” tanya Aoi.

“Ujung koridor ini belok kanan, nanti ada tulisan M.K. ROOM, di situlah kamar Mori.” Jelas Ichimaru seraya menggerakkan tangannya sebagai isyarat.

Aoi mengucapkan terima kasih untuk yang kedua kalinya lalu melesat menuju kamar Kanon yang telah diisyaratkan Ichimaru tadi. Benar saja, terdapat sebuah pintu bertuliskan M.K. ROOM dan terdengar suara isakan samar dari dalamnya. Aoi membuka pintu itu perlahan dan mendapati sosok mungil Kanon yang berdiri menghadap keluar jendela.

“Mau apa, Izumi?” tanya Kanon dengan suara parau.

Aoi sedikit terkejut karena Kanon menyadari kedatangannya tanpa menoleh sama sekali.

“Maaf aku masuk tanpa permisi, tapi kalau tidak begitu, aku tidak akan bisa berbicara lagi denganmu, Kanon.” Jelas Aoi seraya menutup pintu di belakangnya.

Kanon membalikkan badan seraya menyeka seluruh air mata dari wajahnya yang terlihat keras.

“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Kanon sedapat mungkin bersuara angkuh.

Aoi berjalan mendekati Kanon yang berdiri kukuh di tempatnya. “Kenapa menangis?” tanyanya lembut.

Ekspresi Kanon terlihat merapuh, entah kenapa ia tidak dapat menahan serbuan air mata yang segera saja membasahi wajahnya lagi.

“Maafkan aku!” jeritnya seraya jatuh berlutut ke lantai. “Maafkan aku yang telah membuat Aoi jadi begini! Maafkan aku!” Kanon terus saja meratap di lantai seperti seorang anak kecil yang merengek-rengek meminta agar mainannya dikembalikan.

Tanpa diduga olehnya, Aoi menabrak tubuh mungilnya, membenamkannya dalam-dalam ke pelukannya yang hangat dan menenangkan.

“Aku yang seharusnya minta maaf. Aku minta maaf karena tidak pernah memedulikan perasaan Kanon, aku terlalu egois sehingga lupa bahwa Kanon juga menderita,” jelasnya dengan suara dalam. “Aku menyayangi Kanon, maafkan aku...” Aoi mengungkapkan segalanya saat itu juga, membuat Kanon terisak makin keras dalam pelukannya.

Tiba-tiba saja pelukan Kanon merenggang, isakannya terdengar samar, tubuh Kanon melemah.

“Kanon?” panggil Aoi.

Aoi melepaskan pelukannya sejenak untuk mengetahui apa yang terjadi pada Kanon. Kedua mata gadis itu terpejam, wajahnya terlihat sangat pucat, juga kuyu oleh air mata.

“Oh, Kanon...” gumam Aoi lalu menangis dan kembali memeluk sahabat kecilnya itu. “Aku lupa betapa kejamnya pria itu padamu,” kata Aoi.

Aoi mengangkat tubuh mungil Kanon menuju ke ranjang, ia menyelubungi tubuh Kanon dengan selimut.

“Aku akan membawamu keluar dari sini, aku berjanji.” Aoi berkata begitu seraya mencium dahi Kanon yang ternyata sangat panas oleh demam.

Anak laki-laki itu bangkit dan menegakkan bahunya, “Akan kukalahkan kau,” matanya berkilat penuh tekad, “Elang Sipit!”

@ @ @

“Nakanai de nakanai de taisetsu na hitomi yo

Kanashisa ni tzumazuite mo shinjitsu o miteite ne

Sono mama no anata de ite”

“Daisuki na sono egao kumorasete gomen ne

Inotte mo toki no nagare hayasugite tooku made

Nagasareta kara modore nakute”

“aa odayaka na kagayaki ni irodorare

Saigetsu wa yoru o yume ni kaeru mitai dakara me o korashite saa!

Anata no sugu soba ni mata atarashii hana ga umarete

Komorebi no naka de azayaka ni yureteru”

“Itsumademo mi mamotte agetai kedo mou daijoubou

Yasashii sono te o matteru hito ga iru kara kao o agete...”

BRAKK!!! Meja kayu itu terbelah menjadi dua karena hantaman shinai Kawazoe yang meleset.

“Jelaskan padaku, Kawazoe!” bentak Aoi. “Apa yang terjadi di masa lalu antara kau, Mori sama, dan istri Mori sama, Akirawa san? Dan kenapa kau begitu kejam menyiksa Kanon? Jawab!”

Aoi menangkis satu pukulan keras dari Kawazoe dan membuangnya ke lantai, membuat retakan kecil pada lantai kayu tua itu.

“Bukan urusanmu anak kecil!” sergah Kawazoe seraya melancarkan serangan yang lebih gencar pada Aoi.

Aoi membuat gerakan memotong tiba-tiba yang membuat Kawazoe terkejut dan terpelanting ke tanah. Anak itu mengacungkan shinai didepan Kawazoe saat pria itu berusaha bangkit.

“Jelaskan!” bentak Aoi dengan nafas terengah-engah.

“Huh, bagaimana bisa? Kau yang masih pemula mengalahkanku yang sudah sampai pada level juu-dan ini?” tanya Kawazoe lebih kepada dirinya sendiri.

Aoi menyeringai, “Mungkin itulah yang disebut BAKAT,” jawabnya memberi tekanan kuat pada kata BAKAT.

Kawazoe tersenyum meremehkan, “Omong kosong,” umpatnya pelan.

“Jelaskan!” teriak Aoi lagi.

“BAIK, AKAN AKU JELASKAN!” balas Kawazoe lebih keras.

Hening.

Kawazoe menarik nafas berat, “Semua karena wanita bernama Akirawa Minato itu...”

@ @ @

Dua puluh tahun lalu, 15 Mei 1988, aku bertemu seorang gadis yang sangat membuatku jatuh cinta. Ia telah mengubahku, pandanganku tentang hidup, hatiku yang beku telah diluluhkannya, aku sudah tidak bisa berhenti mencintainya. Namanya... Akirawa Minato, seorang kendoka sama sepertiku di Kawaii-dojo. Suatu sore sepulang berlatih, aku dan Akira berjalan-jalan di taman sekitar dojo.

“Akira...” kata-kataku terputus. Aku merasa malu untuk mengungkapkan perasaanku padanya.

“Ya? Kenapa Yoshida?” ia bertanya lembut.

“Aku...” lagi-lagi semua kalimat yang telah kupersiapkan sejak berminggu yang lalu, tersumbat di tenggorokan. Bagaimana aku bisa mengatakan semuanya pada Akira?

“Akira!” sebuah suara memecahkan keheningan di antara kami. Ternyata itu adalah seorang pria seusia kami, aku tidak mengenalnya tapi kukira Akira mengenalnya.

“Siapa dia?” bisikku pada Akira.

Kulihat wajah Akira memerah, “Namanya Kenzaburou Mori, dia temanku,” jawabnya.

Pria itu mendekati kami berdua dan langsung mengobrol dengan Akira tanpa sedikitpun memedulikanku.

“Bisa tidak kau pergi ke Maruyama Tei malam ini? Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,” kata pria bernama Kenzaburou itu.

Akira terlihat tersipu sekaligus senang, “Ii desune, nan ji desuka?” jawabnya.

“Jam 7 tepat. Dan jangan sampai terlambat, ya?” kata Kenzaburou itu seraya berlari meninggalkan kami.

Akira menatap kepergian Kenzaburou dengan pandangan yang aneh dan terpesona, wajahnya benar-benar merah seperti kepiting rebus.

“Kau kenapa sih?” tanyaku agak sebal melihat adegan antara Akira dan Kenzaburou barusan.

Akira tersenyum, “Aku... menyukainya. Aku menyukai Mori,” bisiknya padaku.

Rasanya langit di atasku hancur runtuh menimpaku. Selesai sudah... aku sudah tidak punya kesempatan lagi untuk menyatakan perasaanku padanya.

“Jangan bilang siapa-siapa ya, Yoshi,” bisik Akira lirih.

Aku tidak begitu peduli pada kata-kata Akira barusan, yang aku pedulikan hanya luka dalam hatiku yang terus melebar dan berdarah karena cinta.

Sehari setelah Akira menemui Kenzaburou di Maruyama Tei, ia menceritakan semuanya padaku kalau Kenzaburou dan dia telah berpacaran. Mendengar hal itu entah kenapa aku merasa sangat marah dan memutuskan untuk membenci keduanya untuk selamanya.

Beberapa bulan kemudian, aku menerima undangan dari Akira yang menyatakan pernikahannya dengan Kenzaburou. Aku yang tidak bisa menerima kenyataan itu akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidup namun digagalkan oleh Tuan Kawaii. Karena percobaan bunuh diriku gagal sementara aku tidak sanggup melihat kebahagiaan Akira dan Kenzaburou, maka kususun sebuah rencana rapi yang akan melenyapkan Kenzaburou keparat itu dan mengembalikan Akira ke dalam hidupku. Setelah dua tahun mempersiapkan rencana jahat itu, aku-pun mulai menjalankan rencana tersebut satu persatu. Mulai dari pertemuan yang kubuat seperti kebetulan dengan Akira. Saat itu aku terkejut karena Akira sedang mengandung anak pertamanya dengan Kenzaburou.

“Yoshi, o genki desuka? Hissashiburi desu ne!” jeritnya saat aku menyapa.

Aku memasang ekspresi terkejut, “O genki desu. Ii, hissashiburi desu.”

Kami-pun mengobrol ringan di sebuah cafè. Ia tak banyak berubah setelah dua tahun tidak bertemu, dan perasaanku masih sama.

Ia banyak bercerita mengenai Kenzaburou dan anaknya yang sebentar lagi lahir. Ia mengatakan padaku jika nanti anaknya lahir, ia ingin aku mengajarinya Kendo dan menjadikannya seorang kendoka hebat seperti diriku. Aku hanya bisa mendengarnya bicara tanpa peduli hatiku sakit luar biasa karena cinta.

Setelah pertemuan itu, aku mulai mendekati Kenzaburou. Aku mencari tahu di mana kantor tempat ia bekerja, restoran favoritnya, dengan apa dia biasa berangkat bekerja, dan aku berhasil mendapatkan segalanya. Pagi itu aku mengajak Akira berjalan-jalan ke sebuah taman. Saat kami asyik mengobrol, aku memasukkan selembar surat ke dalam saku mantel Akira tanpa sepengetahuannya. Surat itu bak bom yang akan meledakkan hubungan rumah tangga Akira dengan Kenzaburou begitu Kenzaburou membacanya.

Dan benar saja, pada malam hari saat keduanya sedang makan malam di Maruyama Tei, restoran favorit Kenzaburou, Akira tanpa sengaja menjatuhkan surat yang ada di dalam saku mantelnya yang dangkal itu.

“Apa ini?” tanya Kenzaburou seraya memungutnya.

Akira menggelengkan kepala tanda tidak tahu. Sementara Kenzaburou membacanya dan kekagetan luar biasa menyengat dirinya.

“Kau?!” bentaknya seraya menuding istrinya dengan tuduhan mengerikan.

Akira yang tidak mengerti memandang suaminya keheranan. “Ada apa?” ia bertanya.

Kenzaburou melempar surat itu ke wajah istrinya dan berlalu begitu saja. Akira menangis bingung karena perilaku suaminya barusan, dibacanya surat yang tergeletak di meja itu.

SURAT YANG TAK AKAN PERNAH TERSAMPAIKAN UNTUK YOSHIDA KAWAZOE,

Meski sekarang aku telah menikahi Kenzaburou, namun aku tidak bahagia bersamanya. Aku hanya mencintai Yoshida. Maka dari itu, untuk menunjukkan rasa cintaku padanya, aku akan membunuh anak ini dan membuat Kenzaburou menyesal telah memilihku sebagai istrinya.

Atas nama derita:

MINATO AKIRAWA

Akira menekap mulutnya tidak percaya, tidak pernah sekalipun ia merasa menulisnya, meski tulisan itu dikenalinya sebagai tulisan tangannya sendiri. Tanpa pikir dua kali lagi, ia berlari meninggalkan Maruyama Tei untuk mengejar suaminya.

“Kenzaburou, aku mohon dengarkan aku! Aku tidak pernah menulis surat sekeji itu! Tidak mungkin!” teriak Akira dengan nafas tersengal-sengal saat dilihatnya sosok suaminya di perempatan jalan.

Kenzaburou menoleh sejenak, “PEMBOHONG!” teriaknya sangat keras.

Akira menangis putus asa dan berniat mengejar suaminya lagi saat dirasakannya sakit luar biasa pada kandungannya. Sesuatu yang hangat mengaliri kakinya. Darah segar mengalir menodai baju yang dikenakannya, wanita itu jatuh ke tanah diiringi jeritan histerisnya sendiri, membuat suaminya menoleh den berlari kembali kepadanya.

“Astaga, Akira! Maafkan aku, maafkan aku!” jerit Kenzaburou dengan air mata keputus-asaan.

“D... dengar, a... aku t... tidak per... pernah sekalipun i... ingin mem...bunuh anak ini. A...aku mencintai...nya sa...sama seperti a...ku mencintai ayah...nya,” tukas Akira terbata.

“Diamlah dulu, bertahanlah!” kata Kenzaburou seraya mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke rumah sakit.

“A... aku ingin kau m... menjaganya ka...karena nanti d... dia a...kan ja...ja..di kendoka hebat s... seperti Y... Yoshida, s... sahabatku,” kata Akira lemah sewaktu dalam perjalanan.

“Jangan katakan itu! Kau akan menjaganya bersamaku!” teriak Kenzaburou dengan tangisan makin deras.

Sesampainya di rumah sakit, Akira masuk ke ruang operasi, kondisinya tidak memungkinkan untuk melakukan persalinan secara normal. Sebelum masuk, Akira menggenggam tangan suaminya dan tersenyum seraya berkata, “Aku suka nama Kanon.”

Itulah kata terakhir yang diucapkannya sebelum melahirkan anak perempuan yang membuat nyawanya tidak tertolong. Aku membenci anak itu hampir seperti membenci ayahnya. Oleh karena dendamku yang belum terbalas kepada Kenzaburou, aku melampiaskanya melalui anak keparat bernama Kanon Mori itu.

@ @ @

“Puas? Sudah kau dengar seluruh fakta itu ‘kan? Puas?!” bentak Kawazoe usai menceritakan segalanya pada Aoi.

“Kau pria busuk, Kawazoe!” teriak Aoi seraya menghantamkan shinai pada wajah Kawazoe, membuat hidungnya mengeluarkan banyak darah.

Dipukul begitu, Kawazoe tertawa. “Lantas kau mau apa anak kecil?” tanyanya.

“Kalau aku bisa, aku akan mebunuhmu tahu!” jawab Aoi dengan gigi bergemeletuk saking geramnya.

Kawazoe tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. “Oh iya, sudah tahukah kau mengenai rahasia terakhir Kanon?” ia bertanya.

Dahi Aoi mengerut, “Rahasia terakhir Kanon?” ulangnya.

Kawazoe mengangguk, “Ya, rahasia terakhir gadis lemah keparat itu!” teriaknya dengan sinar mata liar.

“Katakan!” perintah Aoi seraya menekankan ujung shinai pada dada Kawazoe.

Kawazoe menyeringai lebar lalu berkata dengan sangat lantang hingga membuat seseorang di pintu ruang latihan menjerit.

“AKIBAT KELAHIRANNYA YANG MENDADAK DAN ABNORMAL, KANON MORI MENGIDAP KELAINAN JANTUNG! YA, KELAINAN JANTUNG! HA... HA... HA...DAN DIA AKAN MATI!MATI! MATI! SEPERTI AYAHNYA YANG KEPARAT ITU! YA, MATI! HA... HA... HA...”

“TIDAK!!!” jerit Kanon yang sedari tadi berdiri di pintu. Gadis itu menangis berlutut di lantai seraya memegangi dadanya.

Aoi telah memukul Kawazoe di tengkuk dengan sangat keras sehingga pria itu pingsan. Anak itu lalu menghampiri Kanon dan memeluknya.

“Tenanglah, pria gila itu cuma meracau,” bisik Aoi.

“Dia...” Kanon terisak, “dia tidak meracau. Dia benar!”

Story by:nacchan_ogawa

SMPN 32 Surabaya

01-Februari-2009

23:39 p.m.

Freetalk...

(About the ex-change of characters’ name)

Moshi... moshi... akhirnya lanjutan Old Friend selesai juga! Di seri ini, nacchan banyak merubah nama tokohnya, diantaranya: Sora Kazahana menjadi Kanon Mori(karena belakangan nacchan baru tau kalau Sora itu nama anak laki-laki. Ehehehehe...^_^), Aoi Ashiato menjadi Aoi Izumi(karena nacchan merasa nama Ashiato itu kurang sreg), dan terakhir adalah Kaoru Kazahana menjadi Kenzaburou Mori(karena sebenarnya nacchan lupa nama papanya Kanon dan langsung asal comot aja nama Kenzaburou itu).

Lagu ‘Pieces’-nya L’Arc~en~Ciel di sini cuma sebagai pelengkap jalan cerita yang memang kebanyakan merupakan potongan-potongan.

Tetsu: *gak terima* enak aja ‘Cuma’ sebagai pelengkap aja!

Hyde: *ikut-ikutan* iya! Rese’ lu!

nacchan: URUSAIIII!! *tendang hyde dan tetsu*

hyde+tetsu: *nyungsep*

Nah, tapi akhirnya nacchan harus pamitan yah!!! nacchan bakal lanjutin seri ini setelah cerpen berikutnya, oke? Jadi mohon sabar menunggu.

Yukihiro: *nimbrung* kata-kata favorit... ‘Jadi mohon sabar menunggu.’

nacchan: berisik! *jejelin Yukihiro pake’ bakpao *

ARIGATOO GOZAIMASU!!!

My next property:

-SECRET-

Characters:

-Hideki Abe

-Matsushina Hiko

-Tachibana Hana

-Matsushina Ruiji

Nacchii Ogawa