Sabtu, 22 Januari 2011

Cerpen : Best Friend Ever

Namaku sebenarnya bukan Aldebaran, hanya saja aku benci terlahir sebagai diriku yang terlalu banyak membawa masalah dalam kehidupan orang-orang di sekelilingku, bahkan orang-orang yang kucintai juga. Aku tidak tahu apalagi yang harus kulakukan untuk menghadapi ‘karma’ yang melekat pada diriku, selain terus menyayat berjuta luka di tanganku dan menulis berjuta lagu yang kusmipan untukku sendiri.

***

Namaku Kanaya Chikatta. Chikatta, orang tuaku bilang aku diberi nama Chikatta agar aku selalu kuat dalam menjalani kehidupan, apapun masalah yang kuhadapi, tidak berputus asa. Tadinya kuharap nama itu benar-benar berarti banyak untuk hidupku, namun sekali lagi; apalah arti sebuah nama? Kata Shakespeare, jika dalam kenyataan-pun aku tidak sekuat itu.

Kedua orang tuaku bercerai saat usiaku sepuluh tahun, mereka meninggalkanku dalam dunia yang hancur tersobek seperti luka yang selalu basah dalam hatiku. Mereka tidak pernah mau mendengar apa yang aku rasakan, putri semata wayang mereka yang tumbuh dalam suasana anarkis tiap harinya, yang secara tidak langsung mengajarkan padanya bahwa manusia tidak ada harganya. Hanya hidup untuk sekedar mati.

“Naya!” panggil Haikal, sahabatku. “Nglamun aja kamu,” ia tersenyum sambil menyodorkan sebatang coklat padaku.

Aku tertegun namun menyambut coklat itu dengan senyum manja yang bahagia, sebuah topeng yang selalu aku tunjukkan pada semua orang, termasuk sahabatku. Haikal ikut duduk di sebelahku dan hanya diam, ia memang tidak pernah memulai pembicaraan, ia hanya ada di sana.

Aku memakan coklat itu lamat-lamat, sepertinya itu adalah keseribu coklat yang diberikannya untukku dan hal yang sama masih selalu kupikirkan: bagaimana cara membalas semua coklat-coklat pemberiannya?

“Naya,” gumam Haikal tiba-tiba.

“Ya?”

“Aku menyukaimu...” suaranya lirih, ia menatapku lekat.

“Tentu saja, aku juga menyukaimu.”

Ia menggeleng, “Aku benar-benar menyukaimu, itulah arti coklat-coklat itu selama ini. Masa kau tidak mengerti?”

Aku menatapnya dengan mulut ternganga, salah satu topeng lagi yang selalu membuatku tampak lugu dan tidak berdosa. Aku tahu persis apa arti coklat-coklat darinya selama ini.

“Tapi kita sahabat?” kataku.

“Aku ingin kita bersama lebih dari itu,” jawabnya lirih, masih menatapku lekat.

Aku menggeleng pelan, sebuah penolakan yang telah menyayat luka yang dalam di relung hatinya. Hatinya patah, berdarah, sama seperti saat kedua orang tuaku mencampakan aku tujuh tahun lalu.

Dari semua luka yang telah aku goreskan untuknya, ada sebuah luka yang jauh lebih menyakitkan daripada luka-luka yang selama ini kupatrikan di hatinya. Bahkan jauh lebih menyakitkan saat aku memilih orang lain dan meninggalkannya.

Luka itu adalah saat aku terus bersamanya...

Sudah kubilang aku benci diriku sendiri. Aku selalu membawa masalah dalam kehidupan ini. Untukku, orang-orang di sekelilingku, bahkan orang-orang yang kusayangi.

Saat ini aku sudah bersama Haikal, sudah lama sejak sebuah penolakan itu terucap. Tapi jauh dalam hatiku aku tahu, bahwa semua yang aku lakukan dan aku jalani hanyalah kepura-puraan, aku sama sekali tidak bahagia. Aku bahkan tidak pernah membuatnya bahagia. Aku takut sakit hati dan malah mempermainkan perasaan seseorang yang justru sangat tulus menyayangiku. Tapi aku tidak bisa. Orang tuaku mengajariku bagaimana caranya menghancurkan hati orang yang paling kucintai sekalipun.

From : Naya

To : Haikal

Aku nggak bisa terus-terusan sama kamu... aku nggak bahagia, kita putus ya?

From : Haikal

To : Naya

Aku sayang kamu, Naya... aku cuma pengen kamu bahagia...

From : Naya

To : Haikal

Maaf, tapi aku nggak bisa bahagia sama kamu, Kal.

Seperti puzzle yang dirobek kembali menjadi jutaan potong kecil, menyerbu dan memenuhi kepalaku, mengacaukan seluruh pusat kendali syaraf dan tubuh. Mematikan. Sungguh-sungguh mematikan. Mengerikan bagaimana orang tua dapat sangat memengaruhi pertumbuhan jiwa seorang anak, bukan?

Aku telah menghancurkannya, menjatuhkannya setelah mengajaknya terbang berputar-putar di langit ketujuh yang kuciptakan. Dan lagi-lagi menjatuhkannya ke ladang duri yang juga kuciptakan. Aku sering bertanya, manusia macam apakah aku? Dan untuk menjawabnya, aku perlu sebuah mata cutter yang selama beberapa detik menari-nari di atas kulit tanganku.

Setelah itu dia pergi... jauh sekali dari gapaianku. Dan aku baru sadar apa yang selama ini kurasakan padanya. Aku jahat. Jahat sekali. Aku ingin memilikinya sebagai bonekaku yang bisa kupermainkan sesuka hati. Haikal... dengan orang lain, dengan gadis lain...

Semoga kamu bahagia dengannya...

Lagi-lagi aku memasang topeng yang memuakkan, ya, aku marah karena bonekaku diambil! Sama marahnya saat palu pengadilan mengambil kedua orang tuaku yang utuh dari pelukanku.

Tapi aku memang seorang aktor yang sangat jenius, menyembunyikan semuanya di balik topeng dengan senyum lugu yang palsu. Palsu. Palsu.

Tapi saat dia benar-benar pergi dan aku baru sadar bahwa cintanya untukku telah hilang sama sekali... waktu kami bersama... coklat-coklat itu... Aku berteriak dalam kekalutanku, menuju jalan keluar dari ketiadatepiannya. Mencengkeram kesadaranku yang mulai memudar erat-erat, semua tentangnya mulai menghilang juga... bahkan meski semuanya kusimpan rapat dalam peti harta karun kami.

Dia telah pergi...

Barulah aku sadar bahwa dialah teman terbaikku yang pernah ada.

Bukan sebagai boneka.

Atau pacar.

Sebagai Haikal...

Hanya Haikal, sahabat terbaik yang pernah ada.

Malam ini aku duduk di balkon, menikmati harum angin malam dengan sebilah pisau dapur di tangan kananku. Aku bernyanyi pelan sambil menggoreskan sebuah cerita panjang di tangan kiriku, darah mengalir deras seperti alunan yang mengalir pilu dari bibirku.

The song we usedto sing together

Being so old with the walking tine

Like we were doin’ in th backyard

I wonder if you never listenin’ to ‘em at all

Say it! You’re my best friend ever I do

I do, I swear I do I love you

Mean it! Yo’re my best friend ever I know

I know, I bet I know I miss you

Best friend ever

Ah, kurasa aku menuliskannya terlalu dalam pada pergelangan tanganku. Sepertinya... aku merasakan kesadaranku memang memudar.

“Selamat tinggal...” bisikku.

Darah mentes ke lantai balkon, menggenang. Rasa perih ini bukan apa-apa, sama sekali bukan apa-apa. Air mata yang sudah lama tidak pernah membasahi kedua mataku, kini menitik deras tanpa isak.

Mungkin sudah lama aku mengatakan selamat tinggal, sekarang saatnya mulai berjalan.

Aldebaran, 22 Januari 2011

23:11 p.m.